About Me

header ads

Hasil dari Perkawinan Paksa Membuahkan Perceraian

Oleh: Pakage  Alexander



Perkawinan yang dihasilkan karena terpaksa berujung pada perceraian. Papua ibarat cewe Melanesia yang sudah dipinang oleh seorang cowo Belanda berdasarkan struktur adat dan budayanya, dibawah pengawasan Ratu Elisabeth. Dengan cowo Belanda, mereka sudah punya seorang anak yang diberi nama West Papua. Dia dilengkapi dengan atribut sepertinya Bintang Fajar yang selanjutnya disebut Bintang Kejora, Hai Tanahku Papua, Burung Mambruk, Mata uang golden, dan lain-lain. 

Tetapi akhirnya, cowo Belanda itu berhasil diusir oleh cowo Melayu bersama anak buahnya. Dan pada akhirnya perempuan cantik Melanesia itu berhasil direbutnya dengan cara tak wajar. Selanjutnya, ia dipaksa untuk kawin dengannya (laki-laki Melayu). 

Kejadian nyata ini dihasilkan dari nafsu bejat irinya atas istri/cewe cantik tadi. Karena direbutnya dengan iri,  maka mereka merubah nama anak itu menjadi IRI-AN JAYA. Dan ini tidak salah juga karena menunjukan sifatnya yang asli.

Setelah kawin, mereka tinggal serumah bersama anak tirinya bernama Irian. Ya direbutnya karena IRI, maka namanya yang diberi juga cocok. Mereka memaksa supaya kawin dengan laki-laki Melayu selama 6 Tahun yaitu sejak 1962 hingga 1968. Dengan paksaan yang datang bertubi-tubi tanpa berhenti entah siang dan malam, maka akhirnya pada tahun 1969 cowo Melayu itu memberi maskawin setelah saudara-saudara laki-laki (Kelompok Orang Papua yang bernasionalisme ke-Papua-an) semua diusir, dibunuh, dipenjarahkan oleh pekerja-pekerja dari cowo Melayu yang ganteng tadi.

Setelah nama Papua dirubah menjadi Irian Jaya, nama itu dipakai  selama 31 Tahun (sejak tahun 1970 s/d tahun 2000). Mereka berhasil merubah nama selama 31 tahun, tetapi kembali dipulihkan oleh anaknya yang asal dari Sentani yaitu “Bapak Theiys Hiyo Eluway”. Mereka tak bisa merubah hati dan warnanya, walaupun dengan cara bagimana pun karena Tuhan Allah telah menetapkannya.

Selama 31 tahun yang namanya masih belum dipulihkan, mereka memperhatikan dia dengan cara yang tidak benar, mereka tidak pernah mekap dia dengan cara-cara mereka seperti istri-istri lain yang ada di nusantara. Malah mereka memperlakukan dia dengan cara yang tidak benar. Akhirnya saudara-saudara laki-lakinya yang masih hidup membentuk kelompok dan mereka pergi lepaskan dia, tetapi ekornya masih dipegang oleh suaminya Melayu. Walaupun sudah dilepaskan, tetapi mereka masih mengakuinya sebagai istrinya sampai hari ini.

Untuk melanjutkan status perkawinan, mereka memberikan sepasang ternak babi lengkap dengan Tas anyaman Orang Melayu (Bibit Betina adalah Dana Otonomi Khusus dan Bibit Jantannya adalah Undang-Undangnya). Agar hubungan mereka tetap terjaga, maka mereka bagi-bagi bibit tersebut untuk dipelihara dan dikembangkan. Ada yang potong baik, masak baik dan hasilnya dibagikan kepada ke 7 Rumah Adat yang ada sejak dulu yaitu “Saireri, Bomberai, Domberai, Mamta, Anim-Ha, Lapago dan Meepago” agar semua keluarga yang ada di dalam rumah adat itu bisa rasakan bersama secara adil dan merata. Tetapi kenyataannya, tidak sesuai dengan tuntutan yang diharapkannya.

Perempuan itu tidak bisa bertahan selama 31 tahun bersama laki-laki Melayu, maka dia sudah mengandung keinginan tinggi untuk bebas dan saat itu (masanya Bapak Dortheys Hiyo Eluwai), sudah melahirkan keinginan itu. Tapi sayang, anaknya diculik karena tidak dijaga oleh paman-pamannya. Mereka menggantikan anak manusia itu dengan sepasang bibit Babi yaitu namanya Otonomi Khusus. Dan sepasang bibit ternak itu juga diberi karena tuntutan keinginan Orang Tua  (Istri bagian timur) meminta Cerai, maka sekarang bibit ternak itu sudah Tua tanpa berkembang alias mandul. 

Kami rakyat Papua tidak tahu apakah dia sudah berkembang dan beranak atau tidak. Mungkin ada yang beranak, tapi beranak di dalam rumah-rumah pejabat Papua. Ada yang mereka bunuh dan masak diam-diam. Ada pula yang salah masak, salah makan akhirnya mereka muntah dan menceret.

Maka sampai pada hari ini, kami basis seluruh masyarakat Papua merasa, sepasang bibit Babi itu pun sudah tidak beranak, tidak menghasilkan anak, mandul dan Gagal Total karena ekornya dipegang oleh suami Melayu. Dengan demikian, akhirnya kami siap mengembalikan sepasang bibit Babi yang mandul itu. Kami khusus Rakyat Papua tidak bertangungjawab. Kalau Bapak Melayu merasa ada yang Rugi berarti, minta pertanggungjawaban kepada Pejabat-pejabat yang sudah memangku jabatan selama sepasang bibit Babi itu berkeliaran diatas Pulau Papua. Kami Masyarakat Papua menilai Binatang itu tidak sehat, dia semakin hari semakin kurus. Dia (sepasang bibit Babi) kurus mungkin karena makanan yang ada disini, cacing yang  ada di sini sudah tidak cocok lagi, maka hari ini dia sedang cari cela untuk kembali kesana. Kami seluruh Rakyat Papua sudah tidak percaya sama binatang itu, karena kami Rakyat sudah memberi nama binatang itu “OPP (Otonomi Perut Pejabat). 

Kami sudah tidak percaya sama sepasang binatang itu, karena ekornya engkau (NKRI) masih pegang, maka dia sudah tidak bisa kawin dan beranak. Atau mungkain kawin juga, tapi kami curigai selnya engkau keluarkan terus saat perkawinan itu terjadi, sehingga tidak menghasilkan anak. Kami Rakyat Papua sudah sepakat untuk mau mengembalikan sepasang  bibit  Babi anda dan kami juga memberikan cerai atas perkawinan paksa sama cewe Melanesia itu agar mereka kembali ke tempatnya masing-masing (ke tempat semula). Kami mau cerai dengan alasan, Cewe Melanesia itu sekarang sudah kembali ke Rumsh Melanesia.


Penulis adalah Sekretaris Umum Dewan Adat Mee Daerah Adat KAMAPI.

Posting Komentar

0 Komentar