About Me

header ads

Kematian Tak Memisahkan Kita


Angin berembus perlahan melambaikan dedaunan. Seisi perkampungan ini seakan bersukacita. Di punggung-punggung gunung, gumpalan awan bergerak kian mendekati rumah-rumah warga. Dingin pegunungan benar-benar terasa hingga ke tulang sumsung.
 
Sebelum jarum jam menunjuk angka 4, perkampungan yang berada di lereng gunung ini tertutup kabut seakan malam datang merambati perkampungan ini. Tetapi itulah siklus alam. Berputar seperti demikian. Setiap hari, aku menyaksikan siklus alam dan aktifitas warga kampung. Aku memang anak kampung ini.
 
Sahabat-sahabatku biasa memanggilku Niko. Nama lengkapku Nikolaus Petege. Dan Timeepa adalah nama kampungku. Di kampung ini aku dilahirkan dan dibesarkan oleh kedua orang tuaku, bahkan membiayai pendidikanku hingga aku berhasil menyelesaikannya di salah perguruan tinggi di pulau Jawa. Beberapa sahabat sejak kecil pun menyelesaikan pendidikan dari sana, diantaranya,  Vincent, John dan Edo.
 
Suka-duka telah kami hadapi dan lalui bersama, sejak kecil hingga dewasa kini. Kami sadar, hidup ini memang harus diperjuangkan. Baik semasa pendidikan dan kembali ke kampung, tak jarang kami berkumpul dan minum kopi sambil berdiskusi seadanya.
 
“Tuhan, kenapa Kau panggil Edo secepat ini?” kata hatiku, sesaat setelah aku mendengar kabar kematiannya.
 
Kabar itu telah aku dengar tadi siang. Hingga sore ini, aku masih terduduk murung meratapi dan mengenang kembali suka-duka yang telah kami lalui bersama.
 
Hanya satu hal yang membuat hatiku terpukul dan menangis. Sejak kami kuliah dulu, Edo bermimpi ingin menyuarakan segala isi hati masyarakat Papua melalui media masa dan buku. Aku tahu, sejak mahasiswa sering mengirim artike ke beberapa media di media nasional dan lokal di Papua. Edo meninggal ketika ia tengah menulis sebuah buku berjudul ‘Kembali Papua’. Aku tak sempat membaca isi bukunya. Tetapi seminggu lalu ia pernah bercerita kalau isinya tentang sekelumit kemalangan yang dihadapi orang asli Papua.
 
Aku masih duduk meratapi kepergian sahabatku di halaman gubuk tua peninggalan orang tuaku. Serasa dunia ini kian menyempit. Sunyi dan senyap setelah beberapa menit lalu jangkrik bernyanyi menyambut sang malam. Aku merana dalam ketidakberdayaan.
 
Sesaat wajahnya terbayang. Senyumannya tergambar jelas. Edo, ada bersamaku. Sekilas aku menghayatinya. Mimpinya kini menjadi mimpiku. Kata-katanya akan hidup bersamaku selama hayat dikandung badanku. Aku sadar, kematian tubuhnya tak kan pernah memisahkan kita.
 
Aku balas tersenyum memandangi senyumannya yang tergambar jelas dalam benakku. Aku lalu berdiri dan melangkah masuk kedalam gubukku. (Vitalis Goo)

 

Posting Komentar

0 Komentar