About Me

header ads

Hokkaido, A Perfect Hideaway

SETELAH tiga hari melewatkan waktu di Tokyo dengan segenap kemeriahan ala ibu kota, saya benamkan tubuh di antara deretan kursi shinkansen, dan melesat menempuh perjalanan sejauh  1.158 km menuju Sapporo di Pulau Hokkaido. Mengunjungi pulau kedua terbesar di Jepang ini menjadi penutup yang membuat liburan saya 'a perfect hideaway'.
Menuju Hokkaido, sekalipun jauh sebenarnya bukan perkara sulit. Pilihan moda transportasinya beragam, mulai dari bis, kereta, hingga pesawat. Tapi karena ingin menambah bumbu petualangan saya memilih naik kereta. Terlebih saya sudah membeli JR Rail Pass.

Tiketyang hanya bisa dibeli sebelum masuk teritori Jepang itu dapat digunakan naik kereta yang dioperasikan oleh JR Kyushui, JR Shikokui, JR West, JR Central, JR East, dan JR Hokkaido. Ke enam jalur kereta tersebut sudah bisa membawa saya melancong hampir ke seluruh penjuru Jepang dengan mudah.




Mengingat liburan kali ini akan memakan waktu selama seminggu, saya pilih tiket dengan masa aktif 7 hari, seharga 29,110 yen untuk jenis tiket Ordinary.Kira-kira setara dengan tiket kereta kelas bisnis di Tanah Air.

Tapi jangan salah, fasilitas di dalamnya lebih bagus ketimbang kereta kelas eksekutif di sini.Membeli Japan Rail Pass, bisa dilakukan secara online di www.japan-rail-pass.com,atau melalui travel agent yang jadi distributor resmi.

Tanpa rail pass, perjalanan ke Hokkaido dari Tokyo dengan kereta menghabiskan biaya sekitar 24,000 yen untuk sekali perjalanan, sedangkan tiket pesawat one way berkisar 10.000 yen hingga 36.000 yen.

Di balik alasan menghemat bujet transportasi, kereta juga jadi obat pelipur penasaran untuk merasakan sensasi melintasi Seikan Tunnel. Terowongan bawah laut terpanjang di dunia yang berada di kedalaman 240 mdpl.

Tunnel sepanjang 53,85 km dan menembus laut sepanjang 23,30km inilah yang menghubungkan antara Honshu (pulau terbesar dimana Kota Tokyo berada) dan Hokkaido.

Underwater Tunnel
Mendekati Seikan Tunnel, mata yang mengantuk seketika dibuat melek dengan pesona Selat Tsugaru yang tampak seperti lukisan seorang maestro, bergerak cepat di luar jendela. Badan yang mulai lelah mendadak sigap mengambil kamera, mencoba mengabadikan keindahan alam tersebut sebisanya.

Tak lama berselang, kanan kiri jendela kereta mendadak gelap. Rupanya shinkansen mulai masuk tunnel bawah laut. Ada sedikit perasaan was-was, sekaligus kagum menyisip di batin melihat keseriusan pemerintah Jepang dalam membangun transportasinya. Sesekali telinga terasa berdenging karena keretaHayabusa, shinkansen yang saya tumpangi melaju hingga menembus kecepatan 310 km/jam.

Sapporo Sensations
Setelah melewati waktu selama 9 jam, akhirnya sampai juga diSapporo, kota yang menjadi pusat politik dan ekonomi di Hokkaido. Meski jadi kota ketiga terluas di Jepang, Sapporo jauh dari hiruk pikuk metropolitan. Berkendara sedikit saja keluar pusat kota, suasana pedesaan pun dengan mudah bisa ditemui.

Gerimis kecil mengantarkan langkah saya menuju Jimmy’s Backpaker, sebuah hostel yang jadi langganan para backpaker. Rumah berlantai kayu dengan dua kamar yang super bersih dan rapi (bahkan untuk standar bersih masyarakat Jepang) ini akhirnya menjadi tempat istirahat saya selama tiga hari di Sapporo.

Kebetulan, saya berkunjung ke Jepang di bulan Juli, sehingga hujan masih mengguyur hampir setiap pagi dan sore. Niatan keliling kota pagi hari pun urung. Beruntunglangit mulai cerah, usai sarapan makanan cepat saji yang saya beli di supermarket di belakang hostel.

Karena kotanya tak terlalu luas, tempat-tempat strategis di sinibisa dicapai dengan mudah menggunakan subway atau berjalan kaki.

The Red Brick
Tujuan pertama saya adalah Hokkaido Government Building, bangunan tua yang menjadi magnet wisata Sapporo. Di depan gedung, tampak kuda wisata dan kendaraan semacam becak parkir, menanti penumpang yang ingin berkeliling kawasan sekitar destinasi wisata tersebut.

Taman luas dengan bunga aneka warna tertata rapi menyambut di depan gerbang. Tepat di tengah taman, berdiri gedung megah berusia 126 tahun dengan finishing bata merah.

Meski tak dipungut biaya masuk seperti tempat wisata bersejarah di negara kita, bangunan yang dijuluki Red Bricks ini sangat terawat. Bahkan kalau saya sebut super terawat pun tidak berlebihan, melihat bagaimana kondisi gedung berlantai kayu tersebut begitu dijaga di setiap jengkalnya.

Tak ada dinding yang tampak kusam, perabot kayu yang ada pun terlihat mengilap. Begitu juga museum kecil di lantai dua tempat memorabilia benda-benda bersejarah di masa awal pemerintahan Gubernur Meiji yang tertata rapi.



Odori Park, City Oase
Puas berkeliling, saya lanjut berjalan kaki  menuju Odori Park. Seperti halnya Tokyo, tak banyak kendaraan roda empat ataupun roda dua di jalanan Sapporo, sehingga lalu-lintas di kota berhawa sejuk ini tidak pernah macet.

Semuanya mengalir tertib, ruas-ruas jalanannya pun terlihat bersih, dengan truk pembersih yang selalu rutin menyapu jalan.

Setelah 10 menit berlalu, sebuah taman indah yang jadi pembatas Sapporo Utara dan Selatan menyapa di hadapan. Berada tepat di jantung kota, Odori Park tak ubahnya oase yang tampak asri dengan pepohonan tertata rapi di sekelilingnya.

Di ujung pintu masuk dan keluar, tampak pohon-pohon sejenis Pucuk Merah dihias menyerupai kawanan gurita dengan sekumpulan bunga aneka warna mengitari, ditemani beberapa buah kincir angin kertas yangberputar tanpa lelah, dimainkan angin. Vegetasi pun tak sekadar jadi penangkal polusi di sini, tapi jugajadi elemen desain yangmembuat taman sepanjang 1,2 km ini terlihat unik.

Duduk di pinggir air mancur sembari menyantap ice cream yang mulai leleh, saya menikmati sepenggal kehidupan urban masyarakat Sapporo.

Bercengkrama di pinggir taman, berlarian di playground, meluncur di atas skateboard mengelilingi air mancur, merupakan sebagian kecil aktivitas di taman yang menjadi pusat Snow Festival di musim salju tersebut.

Tepat di sisi Timur Odori Park, tampak menjulang Sapporo TV Tower, yang jadi jujugan pelancong untuk menikmati bird eye view Kota Sapporo.

Tapi, karena perut sudah meronta-ronta, saya urungkan niat ke TV Tower, dan langsung menuju Ramen Street. Sebuah jalan di pusat kota yang jadi pusat kuliner Mie Ramen khas Sapporo. Begitu ramen dihidangkan, sendok dan sumpit pun berkolaborasi apik, membuatmie bercitarasa gurih ini tandas dalam waktu singkat.

Usai makan malam sebenarnya saya berniat menghabiskan waktu dengan berbelanja oleh-oleh. Tapi rupanya saya salah perhitungan. Tak seperti di Jakarta, di mana mal dan pusat perbelanjaan buka sampai larut malam.

Di sini jam tujuh malam mal sudah sepi. Hanya kedai makanan saja yang buka. Toko baju dan oleh-oleh yang jadi target saya tutup.Terpaksa perburuan dilanjutkan besok.

Oldest Shopping Arcade
Pilihan tempat berbelanja di Sapporo cukup banyak,tapi karena ingin mencari barang-barang unik dengan harga terjangkau saya mampir di Tanuki Koji Shopping Arcade. Meski dibalut bangunan modern, shopping areaini adalah yangtertua di Sapporo.

Aktivitas perdagangan di sini sudah ada sejak tahun 1800an.
Tanuki Koji terbentang sepanjang 1km dan terbagi menjadi blok 7 dengan tak kurang dari 200 toko  menjejali area yang tak pernah sepi pengunjung ini.

Dari makanan, baju, kosmetik, hingga pernak-pernik unik, tersedia. Semua dijual dengan harga pas, jadi tak perlu lagi sibuk menawar.




Fantastic Furano
Hari terakhir di Hokkaido saya putuskan untuk melancong agak jauh, ke Furano. Kebetulan bulan Juli sudah banyak bunga lavender bermekaran, jadi sayang rasanya kalau tidak singgah ke kawasan yang terkenal dengan perkebunan bunganya ini.

Di musim panas, menuju Furano dari Sapporo dapat ditempuh dengan kereta JR Lavender Express, dan memakan waktu sekitar 2 jam. Karena memegang JR Pass, saya tidak perlu lagi membayar biaya kereta tersebut.

Cerita teman satu penginapan yang berapi-api tentang perjalanannya selama seminggu di Furano membuat saya berharap bisa memotong waktu, menggantikan malam dengan pagi agar bisa membuktikan sendiri keindahan lukisan alam city of lavender ini.

Furano, Giant Flower Blanket
Udara dingin Sapporo yang menyusup dari kisi-kisi jendela pagi itu, segera saja membangunkan saya. Setelah sarapan ala kadarnya, saya naik subway menuju Sapporo Station. Perlu perjuangan beberapa kali pindah kereta sebelum sampai ke Lavender Farm.

Pertama, dari Sapporo menuju Asahikawa. Dari sini pindah naik kereta lokal menuju Biei, selama kurang lebih 30 menit. Dari Biei pindah lagi naik Noko Train, kereta dengan jendela terbuka di kiri kanannya yang membawa saya sampai di Lavender Station.

Fuala..akhirnya  perjalanan dua jam saya berakhir dengan hamparan karpet ungu dari Farm Tomita yang berjarak sekitar 200m dari stasiun kereta.  WOW…hanya tiga huruf ini yang tak henti-hentinya keluar dari mulut saya.

Sebenarnya masih banyak perkebunan lavender lain di kawasan ini, seperti  Flower Land Kamifurano yang ada di lereng Pegunungan Tokachi. Tapi karena berkejaran dengan waktu, saya memilih Tomita Farm yang berjarak paling dekat dengan stasiun.

Dulu, perkebunan berusia lebih dari satu abad ini luasnya mencapai 200ha lebih, tapi karena persaingan bisnis dengan negara Perancis membuat harga lavender di pasaran anjlog, lahan perkebunan itupun kini hanya tersisa 10ha saja.

Tapi, itu semua tidak menyusutkan keindahan Tomita Farm.Kontur tanah berlembahyang dipenuhi bunga lavender, dan diselingi California poppies, serta Marigolds, membuat Tomita Farm seperti giant flower blanket di kejauhan.

Latar hijaunya hutan, berbalut langit biru dengan awan putih berarak, menjadi satu paket yang membuatnya sempurna. Duduk di teras Hanabito House, saya menikmati pesona Tomita Farm ditemani lavender ice cream.

Aroma lavender menyeruak dari es krim bertekstur lembut ini. Rasanya yang nikmat membuai lidah, lalu meluncur mendinginkan tenggorokan saya. Dalam sekejap es krim keunguan ini berpindah ke dalam perut.

Di dalam Hanabito House sendiri, tampak pengunjung berjejal di lantai satu yang menjual aneka pernik serba lavender. Dari sabun, minyak wangi, pulpen dengan tinta aroma lavender, hingga tas Hello Kitty edisi lavender.

Usai membayar di kasir beberapa oleh-oleh, saya sempatkan naik ke lantai 2, mengintip Lavender Museum. Kisah perjalanan Farm Tomita dari awal hingga kini, terdokumentasi apik di sana.

Foto-foto lawas, alat penyuling parfum kuno, mengisi ruang pamermuseum.Termasuk Scent Testing Roomdimana pengunjung bisa mencoba aroma parfum dari berbagai macam bunga lavender yang ditanam di sini.

Waktu begitu cepat berlalu di Furano. Tak terasa senja sudah menggelanyut di langit, saatnya mengejar kereta terakhir menuju Sapporo.Perlahan mesin Noko Train mulai berderik, membawa kereta bergerak meninggalkan Furano dan keindahan yang menyelimuti alamnya. (*)

*Penulis adalah Poppy Febriana, Art Director Baraka Communication sekaligus Dosen di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo.

Posting Komentar

0 Komentar