Foto: Dok, Prib Soleman I/KM |
Oleh: Soleman Itlay
ARTIKEL, KABARMAPEGAA – Kebebasan korupsi di Papua sangat besar. Tumpulnya penegakan hukum, membuat tong pu kak-kak di sini kepala besar untuk memeras uang rakyat. Sebelum jadi orang besar mereka berjanji untuk menjamin semua kebutuhan masyarakat umum. Setelah duduk di ruang dan kursi mewah apa yang dibuat? Tra buat apa-pa. Perubahan pun trada.
Yang ada hanyalah memeras hak rakyat, mengalihkan semua kebijakan daerah demi kepentingan pribadi dan terlebih membawah bencana hidup bagi kaum masyarakat kelas bawah. Tra susah juga kalo tong mo bikin masalah seperti penyalahgunaan uang negara. Korupsi triliunana pun jadi. Rumusnya hanya ada tiga macam.
Pertama, kuasai lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif. Trus yang kedua adalah cukup kita pu “eka” ato uang banyak. Kemudian yang berikut lagi, cukup tong jadi bagian dari merah putih. Kalo tong su kuasai itu, trada yang berani korek kitong. Tu suda, anggap saja tong bikin pagar untuk lindungi diri dari ancaman hukum seumur hidup.
Papua ne bebas korupsi. Siapa saja yang mo pake uang negara dan rakayat gampang. Bebas karna tarada ancaman hukum. Mo pake uang negara sampe kasih habis triliunan pun jadi. Trausa takut dengan kepolisisan, jaksa dan KPK. Penjarah sekalipun tra mungkin giring kitong kedalamnya. Tra tipu kawan. Slama 55 tahun ini, sejak Papua dipaksakan masuk ke Repoblik Indonesia. Trada penegakan hukum terhadap tong pu pejabat dong di Papua sini. Buktinya apa, korupsi meruak diman – mana. Kualitas hidup kaum masyarakt kecil makin terpuruk pula.
Trausa ambil conto kasus jau – jau. Sebut saja kasus penyelewengan Raskin di Jayawijaya. Kasus ne sudah dorong oleh masyarakat ke penegak hukum selama 7 tahun ini. Sayangnya, sampe saat ini tra jelas. Kasus yang memakan waktu lama ini, dimulai dari 2011 lalu. Memasuki 2017 ini, tidak ada perkembangan hukum apa –apa. Kasus ini terkesan berjalan di tempat. Hal itu didukung dengan penegakan hukum yang terkesan sangat lemah.
Sungguh, menuntaskan kasus di Papua sulitnya bukan main-main. Hukum yang diharapkan menuntaskan kasus korupsi. Malah berputar diluar harapan. Hukum sangat jauh dari korupsi. Tidak adak ruang hukum untuk menegakan hukumnya sendiri pada korupsi. Hukum terkesan didamparkan oleh koruptor beserta penegak hukumnya. Kekuasaan seolah merosotkan kekuatan hukum. Penegakan hukum terombang-ambing oleh kepentingan pribadi semata.
Pantas skali kalo kasus seperti RASKIN di Jayawijaya ini tak kunjung tuntas. Bukan itu saja, masih banyak lagi dengan kasus-kasus lain, seperti pembelian pesawat Boeing 737-300 dan pemalsuan ijasa. Bahkan kasus-kasus tersebut telah tersebar di media sosial dan diketahu oleh publik. Herannya, sampai saat ini belum terungkap. Kira-kira persoalannya ada di mana ya?
Tra mungkin tong tanya sama rumput yang bergoyang seperti lagunya Ebiet E. Gede yang berjudul “Berita Kepada Kawan”. Pihak penegak hukum harus berani menjawab semua keluhan rakyat dengan cara memberantas korupsi di tanah yang penuh emas dan minyak ini. Kalo penegakan hukum tumpul dan koruptor merajalela begini, trus nante siapa membawah kabar baik tuk mereka yang lemah dan miskin? Kenapa semua harus diam dan bisu beginika?
Tuhan dan masyarakat kecil bosan. Melihat tingkah laku koruptor dan penegak hukum. Yang selalu salah dan bangga atas dosa – dosa. Atoka, alam mulai bersahabat dengan mereka yang hidupnya dalam kecurangan inikah? Tra mungkin tong bertanya sama rumput yang bergoyang. Semua ini bukan semata-mata kepentingan kasus Raskin Jayawijaya. Namun lebih pada kepentingan bangsa dan negara. Bahwa Indonesia dan Papua harus bebas dari korupsi.
Sehingga penegakan hukum harus ditegakan demi kepentingan negara dan bangsa. Bukan bepihak pada koruptor yang mengakibatkan kerugian uang negara dan memeras uang rakyat kecil. Bila perlu KPK melakukan pemeriksaan terhadap semua pejabat di Papua. Cukup rakyat kecil menderita gara-gara tong pu kak-kak pejabat dong potong-potong uang rakyat. Masyarakat Papua pasti setuju seratus persen dengan penegak hukum. Kalo benar-benar menegakan hukum demi kepentingan umum terutama negara dan rakyat. Cukup lama uang negara rugi serta rakyat diselimuti oleh beragam persoalan akibat kejahatan korupsi para elit politik di Papua.
Peluang untuk mengangkat martabat hukum di Papua amat besar. Rekam jejak para koruptor pasti banyak. Tinggal tunggu KPK dan jajarannya. Kapan akan melakukan pemberantasan korupsi kepada tong pu kak – kak ne. Uang Otsus triliunan tidak dirasakan oleh kaum pribumi Papua. Semua diambil alih oleh mafia – mafia besar termasuk kabupaten Jayawijaya.
Untuk itu, kasus Raskin Jayawijaya harus tuntaskan sampai akar-akarnya. Cukup masyarakat Jayawijaya menderita sakit karena biaya rumah sakit mahal. Cukup anak-anak muda di Wamena di terlantar karena biaya pendidikan mahal. Cukup rakyat Agamua tidak rasakan barang kios karena harga ekonomi melambung tinggi. Cukup orang Papua di Wamena dengan tipu daya dengan wacana pendidikan dan kesehatan gratis.
Trausa main ampun – ampun. Hukum ya hukum. Korupsi tetap korupsi. Hukum harus ditegakan demi martabat hukum. Tapi juga demi kepentingan negara yang bebas dari korupsi. Sebagai bangsa dan negara yang anti dengan korupsi. Kitong harus lawan korupsi sampai tuntas di akar-akarnya. Rakyat sedang menantikan pengadilan terakhir untuk koruptor akan tiba. Bisakah, penegak hukum memberikan jaminan?
Tapi kalo model penegakan hukum lemah seperti sekarang ini. Tra akan pernah berantas korupsi di Papua. Paling yang ada menghabiskan uang negara dan rakyat kecil. Semua orang pasti akan terus berlomba-lomba untuk menguasai birokrasi dan parlemen. Bukan untuk mensejahterakan rakyat, tetapi lebih dari itu adalah untuk kepentingan pribadi. Segala kebijakan dibentuk atas nama rakyat. Sayang, tapi hasilnya bukan rakyat lagi yang menikmati. Namun mereka, para elit politik lokal dan nasional.
Tidak salah kalo orang Papua menyanyi lagu Black Brother yang berjudul “Hari Kiamat”. Demikian lirik lagunya, “Di tepi jalan si miskin menjerit. Hidup meminta dan menerima. Yang kaya tertawa, berpesta pora. Hidup menumpang di kecurangan. Sadarlah kau cara hidupmu, yang hanya menelan korban orang lain. Bintang jatuh hari kiamat. Pengadilan yang penghabisan.”
Rakyat semakin miskin dan menderita. Hidupnya hanya meminta dan menerima. Para elit politik dan penegak hukum tertawa ria. Berpesta pora di sana-sini. Hidupnya dalam kecurangan. Tra menjalankan tugas dengan benar. Tiap hari datang ke kantor duduk dan dengar dengan kepentingan duit (eka). Setelah jabatan habis menikmati hidupnya atas berkat korupsi. Lucu, tong pu kak-kaka ne. Macam tra kasihan dengan nasib hidup dong pu masyarakat Papua inikah.
Akhir dari tulisan ini. Penulis ingin tegaskan bahwa kasus Raskin Jayawijaya harus segera tuntaskan. Cukup rakyat menderita karena menanti kasus ini kapan akan berakhir. Polda Papua, Jaksa dan KPK yang pernah menerima laporan pengaduan diminta ungkap secepat mungkin. Kalo penanganannya memakan waktu lama, berarti perlu pertanyakan. Kenapa Polda Papua, Jaksa dan KPK tidak pernah urus kasus Raskin Jayawijaya inikah? (FP/KM)
*) Penulis adalah Anggota Aktif Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) St. Efrem Jayapura - Papua
0 Komentar