About Me

header ads

Sahabat Malam



Oleh: Emelianus Tebai

Pintu kamar warna cokelat itu terbuka lebar. Jendela tertutup rapat. Hanya satu buah kaca pecah yang terbuka. Sehelai gaun jendela warna biru itu terlipat ke atas. Dalam kamar. Lemari-lemari yang membisu dalam seribu bahasa; yang tak akan berkata-kata walau diajak paksa bicara. Sebab lemari adalah benda mati.

Malam jam 11.15 hujan rinai mulai turun membasahi tanah, bersamaan datangnya angin malam; Seakan satu paket! Daun pohon noni warna hijau yang mekar depan kamar bergerak kesana-sini mengikuti arah angin. Daun yang berdansa itu  tedas depan mata . Sebab alat penerang berkedip dalam kamar maupun luar. Sungguh bergerak daun bagaikan dambaan hati yang terdiam di sudut kota yang menitip salam sehingga angin datang menyapa.

Angin sepoin masuk melalui pintu dan kaca jendela yang picah, sehingga terasa sampai kulit tubuh bahkan sampai tulang sumsung. Dingin, kata Bass sambil berdiri untuk tutup pintu kamar yang terbuka lebar. Tak lama lagi, dua buah lampu neon philips yang berkedip dekat pelapon itu meredup.

"Listrik mati ka...?" kata Bass sambil duduk usai tutup pintu kamar.
"Iya," kata Erik.
"Ah, Kenapa mati lampu ka, tugas masih belum selesai." kata Kalvin.
"Makanya tahu bayar uang lampu to!" kata Bass berupaya mencari gara.
"Setiap bulan yang saya bayar 20 ribu itu percuma ka, bayar mahal-mahal lalu dipadam lagi."

Lampu juga salah satu kebutuhan sandang yang mesti kita berusaha memilki untuk mendukung dalam melakukan aktivitas pada malam hari. Di daerah terpencil yang belum tersentuh sistem pemerintahan akan menggunakan sebagai alat penerang pada malam hari itu lilin dan tungku.

Pantas listrik padam. Sebab hujan deras turun bagaikan air yang mengalir tak henti. Matinya lampu, bagaikan kekasih yang pergi tanpa pesan hingga merindu kapan akan menyampaikan kabar berita.

Begitu juga dengan tiga orang yakni; Bass, Kalvin dan Erik yang membisu dalam kamar hanya rasa sendi atas matinya lampu dan berharap berkedip kembali lagi. Sebab dalam kamar berkedip hanya munir laptop yang tidak begitu terang. Bass sibuk membolak-balikan hasil photo yang ambil beberapa hari yang lalu di bumi perkemahan (Buper), sementara Kalvin sibuk mengerjakan tugas makalah dengan tulis tangan, sedangkan Erik mengetik Tugas Akhir.

Cahaya muncul dari layar laptop itu meredup.  
"Kita seakan tinggal di kampung. Kampung saja ada alat penerang sekaligus penghangat tubuh itu ada," kata Kalvin sambil berdiri mencari lilin. Sesudah dapat, ia bakar pada sumbu lalu bercahaya lagi.
Lilin yang berdiri tegak di lantai, melihat cairan yang  hendak jatuh samping batang putih itu seakan terlihat ia sedang menangis. Bagaikan tetes-teses air yang hendak berjatuh dari bola mata.

Walaupun kami membuat kau menangis. Tiada kata indah yang kami sampaikan, hanyalah kami tiga ucapkan terimakasih sebatang putih. Lilin kau adalah ‘Sahabat Malam’ yang setia menolong dan menerangi tanpa rasa lelah. Lilin itu hampir habis, tiga sahabat itu pun tertidur pulas dalam dunia mimpi dengan alaskan harapan dan cita-cita kepada Sang Pencipta.

Posting Komentar

0 Komentar