“ Hukum tidak lain kecuali kepentingan mereka yang kuat” kata Trasymachus. Pernyataanini dipertahankannya ketika berdebat melawan Sockrates mengenai masalah Keadilan (Plato The Repulick). Memang ,defakto Hukum biasa menjadi kendaraan bagi kepentingan mereka yang kuat. Hukum menjadi alat legitimasi tujuan-tujuan dan kepentingan-kepentingan mereka yang sedang berkuasa. Sedangkan mereka yang lemah seakan menjadi hukum tidak berdaya lagi membelah.
Lalu cita-cita atau adicita hukum kandas di dalam pertarungan kekuatan dan kepentingan. Pada hal,tujuan hukum dasarnya adalah mencari keadila,kesejahteraan umum,perlindungan individu, solidaritas. Penyalahgunaaan hukum ini bukan hanya masalah penguasa yang seenang-wenang, tetapi juga masa hukum itu sendiri tidak mengandung pengawasan pada diri nya dan atau objek hukum nya serta yang terutama adalah subjek hukumnya. Maka ,permasalahannya terkait juga dengan dasar hukum atau sumber hukum. Masalah sumber hukum ini sangat rentan komflik. Terutama sumber hukum yang dimengerti sebagai yang mengacu pada dasar berbagai nomology hukum yang memberi pembenaran,nilai dan validitasnya. Hal ini menjadi masalah karena adanya pluralitas agama.
Hubungan hukum dan moral tidak monolitik, namun setidaknya ada lima pola. Pola pertama moral sebagai yang menjembatani hukum dengan ideal kehidupan sosial politik. Kedua, sejarah konkret memberi bentuk moral dan eksistensi kolektif. Tindakan moral berarti,masuk kedalam pertarungan kekuatan dan kekuasaan serta komflik kepentingan. Ketiga, Volumtarisme moral dalam arti moral sebagai yang transenden,maka moral tidak bisa direduksi ke dalam hukum. Selain itu moral dimengerti sebagai pemahaman kehendak sebagai kehendak murni. Yang terakhir ini cenderung memaksakan norma-norma atau nomologis. Proyek ini adalah revulusi puritan. Keempat, moral berada di luar politik dan bersifat kenabian. Sangat kritis terhadap politik. Maka,hubungan antara hukum dan moral akan komfliktual. Kelima, Politik dikatkan dengan campur tangan kekuuatan dalam sejarah (via partai politik,organisasi buruh,minister,organisasi keagamaan) yang masuk ke dalam kekuasaan. Moral hanya merupakan salah satu dimensi sejarah. Hubungan atau jaringan antara hukum dan moral sangat ambigu. Di satu pihak hukum membutuhkan moral untuk legitimasi namun sekaligus hukum mengakalinya. Sedangkan moral membutuhkan hukum positif supaya bisa menjadi konkret.
Relevansi pemetaan pola jaringan atau hubungan hukum dan moral ini terletak pada sistim politik. Sistim politik yang member tempat kepada etika politik akan cenderung memakai pola hubungan pertama, ketiga, (yang kesatu) dan kelima. Sedangkan teokrasi akan menggunakan pola hubungan ketiga dimana volutarisme moral yang yakin bahwa penerapan tuntutan moral harus dilakukan dengan memaksakannya kepada semua anggota masyarakat (Revulusi Puritan). Dengan pemetaan pola hubungan moral hukum ini, penulis bisa menempatkan peran Agama atau ideology di dalam menentukan hukum positif. Namun,perlu di sadari bahwa perumusan hukum yang adil (Hukum Kodrati ) adalah jadikan proses tawar menawar. Maka, kesadaran warga Negara dan partisipasi mereka sangat menentukan. Untuk itu, perlu pemberdayaan dan mengorganisir diri di dalam Civil Society.
Agar civil society bisa tumbuh dan berperan seperti itu, “ Prinsip subsidiaritas” harus dihormati. Prinsip ini bisa menjamin dalam mengatur hubungan antara individu-kelompok dan Negara : prinsip ini menegaskan bahwa apa yang bisa diurus,dan diselesaikan oleh kelompok yang lebih kecil dengan kemampuan dan sarana yang ada,maka kelompok yang lebih besar (Negara) tidak boleh campur tangan. Negara hanya boleh campur tangan sejauh membantu individu dan kolektivitas yang lebih kecil dirinya dalam mengupayakan kesejahteraan umum dan dalam mewujudkan keadaan keadilan diskributif. Dengan Prinsip ini, Pertama, peran Negara sangat dibatasi dan tidak mengurusi semua hal,sehingga akan lebih efektif menjalankan tugas-tugas pokoknya. Ini berarti bahwa Negara tidak boleh mencampuri atau mengatur kehidupan Agama, menteri dalam negeri tidak bisa menjadi Pembina politik, pemerintah jangan mengurusi urusan intern partai-partai politik. Kedua, akan tumbuh berkembang inisiatif dan partisipasi yang lebih aktif dari masyarakat adat dalam upaya membangun kesejahteraan bersama. Prinsip subsidiartitas ini akan mengubah orientasi politik yang sangat bias kepada Negara menuju kepolitik yang memihak wara Negara. Tetapi selama ini secara jiwa partai dan hukum nya sangat sama sekali tidak memihak. Tolok ukur keberhasilan politik semacam ini ialah pemenuhan hak-hak sipil,pilitik,ekonomi, sosial, dan tiap budaya-budaya dari seluruh warga negara. Perubahan atau transformasi atau revolusi ini bisa dimulai melalui pendidikan kewargaan negaraan. Di sini lah pentingnya penyadaran supaya masyarakat menyefektifkan dan mengoptimalkan penggunaan jalur hukum. Selain supaya bisa terwujud “ opropriasi” hukum oleh masyarakat,juga agar transformasi dalam perjuangan keadilan dapat merevolusi secara struktural suasana yang tidak adil melalui aturan sandiwara (permainan) legal dan bukan kekerasan. Masalahnya kalau aturan permainan illegal itu sendiri sudah tidak adil,atau hukum difatsirkan selaras dengan kepentingan yang kuat. Dalam konteks ini,analisa wacana kekuasaan Michel Foucault menjadi relevansi. (*)
(Oleh : Yulianus Bukihapai Edowai;-)
0 Komentar