Masa Aksi sedang bediri memegang Spanduk sambil aksi di Halaman Kantor Gubernu Papua. (Foto: saat aksi.dok.) |
Jayapura,– Bertempat di Halaman Kantor Gubernur Papua,
Rabu, (18/10/17), Masa aksi unjuk rasa yang tergabung di dalam Asosiasi Pertambangan Rakyat Tanah Papua (ASPRATAPA) menyikapi izin pertambangan di Papua telah
menghasilkan lima poin pernyataan sikap.
Pernyataan sikap mereka sebagai berikut:
1. Mentri ESDM
Republik Indonesia agar merubah Peraturan Mentri ESDM Tentang Penetapan Wilayah
Pertambangan (WP) Papua dan memasukan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dalam
Peta Wilayah Pertambangan (WP) Papua.
2. Gubernur
Papua agar mencabut Pergub No 41 Tahun 2011 tentang Pertambangan Mineral dan
batubara.
3. Gubernur
Papua untuk Mencabut Izin-izin yang dikeluarkan pada tahun 2011 dan melakukan
Penataan Ulang Ijin Ijin Tambang di Papua;
4. Gubernur
Papua harus Memberikan Kesempatan Kepada Anak Papua yang sedang aktif bekerja
untuk memperoleh Ijin Usaha Pertambangan (IUP) di Papua. Contohnya; PT.Tunas
Anugerah Papua di Nifasi, Nabire
5. KAPOLDA
Papua agar memerintah aparatnya untuk memerintahkan bahawannya menghentikan
upaya hukum terhadap anak-anak papua yang sedang melakukan penambangan di
Nabire.
Sementara isinya sebagai berikut:
Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 11 Tahun 1967
tentang ketentuan-ketentuan pokok pertambangan, pada Pasal 2 huruf n,
disebutkan bahwa Pertambangan Rakyat adalah satu usaha pertambangan bahan-bahan
galian dari semua golongan a, b dan c yang dilakukan oleh rakyat setempat
secara kecil-kecilan atau secara gotong-royong dengan alat-alat sederhana untuk
pencaharian sendiri. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara,Wilayah Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya
disebut WPR, adalah bagian dari WP tempat di lakukan kegiatan usaha
pertambangan rakyat.
Kegiatan pertambangan rakyat dilaksanakan dalam suatu WPR.
Kegiatan Penambangan Rakyat telah ada di Papua sejak tahun 1990-an Suasana baru
muncul lagi ketika, Pemerintah provinsi berdasarkan Pergub Papua No 41 Tahun
2011, mengeluarkan izin dengan alasan UU No 21 Tahun 2001 kepada beberapa badan
usaha. Pemberian IUP itu juga untuk wilayah dalam satu kabupaten, padahal
sesungguhnya itu adalah kewenangan bupati ini yang kadang menimbulkan tumpang
tindih dalam pemberian izin, sehingga semua ijin yang telah ada dari kabupaten
wajib dihormati oleh provinsi, bukannya provinsi mengatakan ijin ijin kabupaten
itu illegal. Pergub No 41 Tahun 2011 tersebut juga telah dicabut oleh Mendagri
pada tahun 2016.
Dalam pemahaman kami, Pergub tidak dapat dijadikan dasar
memberikan izin, Pergub adalah turunan dari Perdasi atau Perdasus, sementara
itu Perdasi atau Perdasus tidak ada dan juga batasan kewenangan telah jelas
dalam UU No 4 Tahun 2009, ini penting ditegaskan agar tidak dapat dipahami
bahwa ketentuan UU No 23 Tahun 2014 tidak dapat berlaku surut untuk membatalkan
IUP yang dikeluarkan oleh Bupati yang belum berakhir masa berlakunya.
Ada kerinduan lain di Papua adalah adanya Ruang kelola bagi
pengusaha anak Papua yang sudah mampu dan berpengalaman haruslah menjadi hal
yang sangat khusus diperhatikan dalam memberikan ruang kelola, mereka harus
didahulukan untuk mendapatkan ruang untuk mengelola potensi tambang tetapi
mereka juga harus melakukan kompensasi kepada masyarakat adat atau bisa juga
masyarakat adat pemilik tanah dapat diberikan kemudahan mengurus izin usaha
pertambangan untuk mengelola wilayah adatnya.
Hal yang lain juga adalah karena banyaknya izin kadang kala
terjadi tumpang tindih wilayah, atau melakukan upaya penyerobotan dan
memberikan label ilegal, karena adanya izin yang diberikan di atas wilayah yang
ada kegiatan pendulangan rakyat, ini yang terjadi di Nifasi dan Degeuwo.
Kini kewenangan memberikan Izin berada di Provinsi, dalam
tahun 2017 kewenangan pemberiian izin usaha pertambangan telah ditetapkan untuk
pemberian Izin Usaha Pertambangan dilakukan melalui sistem Lelang ini adalah
cara cara yang berupaya untuk memulai sebuah upaya meminggirkan Pengusaha Papua
secara sistematis serta membuka peluang kolusi dengan label lelang.
Sehingga saya harus tegaskan bahwa dalam rangka pelaksanaan
Roh dari OTSUS PAPUA yaitu Keberpihakan, Perlindungan dan Pemberdayaan,
makaTanah Papua tidak perlu diberlakukan sistem lelang dalam pemberian Izin
Usaha Pertambangan (IUP) agar betul-betul orang Papua menjadi Tuan di Negeri
Sendiri, tetapi harus terus dilakukan pembinaan dan pengawasan oleh Dinas
Pertambangan bukannya memberikan izin kemudian melepaskan pemberi izin seperti
orang mabuk di tengah jalan. Sebagai contoh, di wilayah adat Meepago, terdapat
beberapa Pemegang Izin yang menguasai Tanah Adat antara lain; PT.Benliz
Pasific, PT.Pasific Mining Jaya, PT.Benliz Pasific Makmur tidak diketahui oleh
masyarakat pemilik tanah, dari data yang kami peroleh masih memilih utang ke
Negara karena belum membayara Pendapatan Negara Bukan Pajak, belum pernah
melakukan kegiatan di wilayah, serta sedang membuat gadung dengan melaporkan
kepada Polisi, Pengusaha Anak Papua ke POLDA Papua.
Kondisi ini telah merugikan dan mengganggu kegiatan
Pertambangan Rakyat yang dikerjakan masyarakat, Contohnya; Degeuwo, Topo,
Agisiga, Timika dan Nifasi, dan jelas bertentangan dengan UU No. 4 tahun 2009,
Pasal 24, berbunyi :“Wilayah atau tempat kegiatan tambang rakyat yang sudah
dikerjakan tetapi belum ditetapkan sebagai WPR diprioritaskan untuk ditetapkan
sebagai WPR.
Hormat Kami
ASPRAPTAPA, Jhon Gobai
1 Komentar
Ini Pernyataan Sikap ASPRATAPA Menyikapi Izin Pertambangan di Papua yang selama ini tidak menanggapi serius oleh pemerintah
BalasHapus